Once upon a time in Dieng (story)
Pe
ndahuluan
Iya2, pasti pada mikir ini blog apa skripsi pake pendahuluan segala.
– Desa tertinggi di Pulau Jawa
– Negri di atas awan
– Golden sunrise
– Anak Gimbal
– Mie Ongklok.
Destinasi libur Lebaran tahun 2014 ini adalah sebuah desa yang terletak diatas 2.000 meter dari permukaan laut dan terkenal juga dengan sebutan – sebutan yang saya tulis diatas. Tadinya sih kita berencana untuk pergi ke Karimunjawa, namun karena info yang beredar mengatakan tidak ada kapal penyebrangan menuju kesana, kami pun memutuskan untuk bermain – main di dataran tinggi saja. Lagipula, siapa yang tidak tergiur oleh ketampanan sang golden sunrise yang bisa disaksikan dari puncak Sikunir? Selain itu, saya juga penasaran, di pulau Jawa emang bisa sedingin apa sih? Saya juga belum pernah merasakan yang namanya mendaki sebelumnya, jadi why not? Tanpa banyak bertele – tele (eh apa udah kebanyakan tele tele nya?) yuk langsung aja kita mulai ceritanya.
Eh iya, saya belum memperkenalkan diri. Halo semuaaa, nama saya Theresia, boleh panggil saya ishia, tere, ato apapun lah…selama saya masih nengok kalo dipanggil. Saya adalah adik perempuan dari Haidy dan teman dari Amank yang tentunya sudah tak asing lagi wajahnya di blog ini. By the way, ini backpacking perdana saya loh, biasanya koper-ing terus (ga abis – abis ya prolog nya).
Hari I
Pada tanggal 27 Juli , saya, Amank, dan Haidy meninggalkan kota Banjarmasin menuju Semarang dan tiba pukul 2 siang. Kami singgah untuk mengisi perut sebentar, kemudian langsung cuuuusss… ke Desa Sembungan. Setelah menempuh perjalanan sekitar 6 jam dan melewati jalan yang sangat berkabut, kami sampai di Homestay Rodja, tempat kami menginap. Eh serius loh, kabutnya bener2 tebel banget, jarak pandang paling cuma sekitar 3 meter. Sempet ngerasa serem juga sebenernya, kalau kalau si sopir ga hati – hati trus mobilnya terjun ke jurang, atau ketabrak sama mobil dari arah berlawanan, atau … (kok jadi bahas kabut yaa) Turun dari mobil, wajah kami langsung ditampar (lebay dikit boleh kan) oleh hawa malam nan begitu dingin. Baru kali ini saya merasakan yang namanya winter ada di Indonesia. Begitu masuk ke dalam rumah, kami disambut oleh teh panas dan cemilan (hore!), dan tentu saja ada Bu Eko, pemilik Homestay. Kita ngobrol – ngobrol dengan Pak Eko, membahas sekilas mengenai Desa Sembungan, lalu kami istirahat. O iya, Homestay Rodja ini letaknya di paling ujung Desa Sembungan. Kalau lagi di Desa Sembungan mau nyari homestay ini, tinggal tanya saja sama warga sekitar “rumahnya Pak Eko” dimana. Pak Eko sangat tenar disana.
Hari II
Pagi itu, saya, Amank, dan Haidy bangun pukul 3 pagi. Percayalah, Haidy juga bangun jam segitu (normalnya dia susah banget bangun pagi). Dengan semangat berkobar, kita langsung bersiap – siap untuk naik – naik ke puncak gunung, tinggi – tinggi sekali, eh jadi nyanyi. Dengan cahaya senter seadanya, kami berjalan selama kurang lebih 3 jam. Jalur trekkingnya licin, efek dari hujan malam sebelumnya. Kami tiba di puncak pada pukul setengah 6 dan langit masih gelap. Di atas sana, sudah ada beberapa orang yang standby dengan kamera – kameranya. Menunggu dan terus menunggu… Masih terus berharap… Dan akhirnya… Golden sunrise yang kami impikan tidak muncul juga. Saat itu cuaca memang mendung, sehingga matahari tertutup oleh awan. Hati kami pun ikutan mendung karena belum kesampaian menikmati golden sunrise yang terkenal itu. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali turun. Di kaki gunung, berjajar dengan rapi tanaman – tanaman petani. Ada kentang, Ada cabe. Selingkuh jangan bilang-bilang, Nanti jadi berabe (kok malah berpantun). Desa Sembungan, dikenal sebagai salah satu penghasil kentang terbesar di Indonesia. Ada juga pohon – pohon Carica. Carica adalah buah khas disini, bentuk buah dan pohonnya sama seperti pepaya. Tetapi, warna daging buah dan rasa dari carica sangat jauh berbeda dari pepaya. Selain itu, ada banyak tanaman bawang dan pohon cabe betot juga, itu loh yang bahasa kerennya Jalapeno. Pagi itu terlihat jelas pemandangan yang indah dari depan Homestay tempat kami menginap. Kami berhadapan langsung dengan Telaga Cebong yang dihiasi oleh kabut tipis. Asik juga pagi – pagi udah liat yang seger – seger.
Telaga Cebong
Masuk ke dalam rumah, ada ketupat, opor ayam, sama tumis jamur sedang duduk manis menanti kehadiran kami. Wah pas banget dahhh, turun gunung langsung isi perut. Siangnya, kami pergi ke pusat kota Dieng. O iya, mengenai transportasi, untuk menuju ke pusat Dieng dari Desa Sembungan agak susah. Untungnya, hari itu kami diantar oleh anaknya Pak Eko yang bernama …maaf saya lupa. Dari Desa Sembungan menuju Dieng memakan waktu sekitar 20 menit. Tujuan pertama kami hari itu ialah Telaga Warna. Sesampainya disana, anak Pak Eko pulang kembali ke desa Sembungan dan tak lupa meninggalkan nomor HP untuk nanti saya hubungi kalau mau dijemput (kami pulangnya dijemput karena kami bukan jelangkung). Telaga warna terkenal dengan gradasi warnanya nan indah sekali. Berada satu komplek dengan telaga warna, terdapat beberapa goa dengan sejarahnya masing – masing, ada yang bisa membantu wanita yang sulit punya keturunan, ada yang bisa menyembuhkan penyakit, ada juga yang bisa membantu supaya anak bisa cepat membaca.
Kemudian, kami melanjutkan perjalanan menuju kompleks candi Arjuna, yang tempatnya berada di kabupaten Banjarnegara, menggunakan delman. Saat mendekati tempat tujuan, kami dihadapkan dengan sebuah turunan yang cukup curam. Cukup curam untuk seekor kuda. Mendekati turunan tersebut, sang kuda mulai melangkah perlahan dan berhenti (mulai deg – degan nih kita bertiga yang di dalem delman) Si kusir berusaha membujuk si kuda (pakai cambuk serta mengeluarkan suara – suara yang hanya bisa dimengerti oleh si kuda) untuk berjalan menuruni turunan tersebut. Satu langkah, dua langkah,…. kaki si kuda terpelecok, delman kami pun rubuh. Kami bertiga segera meloncat dari delman. Untung ada beberapa pengguna jalan yang dengan sigap membantu untuk mengembalikan posisi delman dan membantu kuda untuk bangun. Kami jadi tidak tega melihat si kuda yang kakinya lemah itu. Mulai dari situ, setiap kali akan melintasi tanjakan atau turunan, kami bertiga turun dari delman. Sebenernya sesaat setelah insiden kuda jatuh ini, saya langsung bertekad diet loh. Tapi beberapa jam kemudian, saya lupa akan tekad tersebut. Sampai di kompleks candi, gerimis hujan mulai turun dan kabut pun muncul.
Kawah Sikidang
Setelah berjalan sebentar mengelilingi candi – candi tersebut, kami melanjutkan perjalanan menuju kawah Singkidang. Malam harinya, kami diajak oleh Pak Eko untuk ikut berkumpul di rumah salah satu saudaranya. Ini sudah menjadi tradisi mereka setiap lebaran. Sungguh momen yang begitu berharga untuk kami bertiga bisa ikut bergabung disana. Di rumah tersebut, sudah banyak warga yang berkumpul. Kami diajak untuk duduk bersama mengelilingi api tungku di dapurnya yang sangat sederhana, namun berlimpah makanan dan enak – enak semua. Yang tadinya kami merasa kedinginan, tak lama kami mulai merasa hangat oleh pancaran api serta canda tawa. Saya sungguh tersentuh melihat makanan kehangatan dan keramahan yang mereka suguhkan kepada kami. Mereka tidak menganggap kami sebagai orang asing, walaupun baru saja bertemu. Senang sekali rasanya bisa ikut merasakan lebaran bersama di desa seperti ini. Kita yang hidup di kota sering terlalu sibuk dengan urusan masing – masing, bahkan kadang sengaja mengasingkan diri sendiri, lalu kita pun tidak peduli dengan sekeliling kita. Mungkin untuk bertegur sapa dengan tetangga saja sudah jarang. Wah jadi dramatis nih.
Hari III
Hari itu Pak Eko kebetulan bertugas di Dieng, maka beliau menawarkan kami untuk ikut. Kami diajak untuk mencicipi Mie Ongklok terlebih dahulu, makanan khas Dieng berupa mie dengan kuahnya yang kental, juga dilengkapi dengan sate sapi. Yumm! Setelah kenyang, kami diantar oleh Pak Eko untuk berkeliling (lagi) ke tempat – tempat wisata yang kami kunjungi kemarin. Berhubung kemarin langitnya mendung, jadi kami dengan senang hati mengulang lagi kunjungan – kunjungan kami…yah paling engga biar dapet foto yang bagus lah. Perjalanan dimulai dari kompleks candi Arjuna. Kami juga sempat melihat – lihat arena hiburan rakyat disana. Kemudian, kami melanjutkan perjalanan menuju bukit Singkedeng (yang belum sempat kami kunjungi kemarin). Letaknya ada di sebelah kompleks telaga warna. Dari atas bukit ini, kita bisa menyaksikan indahnya paduan warna dari telaga tersebut. Selesai dari sana, Haidy dan Amank mengisi perut mereka dengan semangkok bakso. Sementara saya memilih untuk mencicipi jajanan kue bandos (ada juga yang nyebutnya bandros) dan jamur goreng. Setelah kenyang, kami dijemput oleh Pak Eko dan dibawa ke sumur raksasa Jatilunda. Konon ceritanya, siapa yang berhasil melempar batu ke dinding seberang sumur, maka permintaannya akan dikabulkan. Dari kita bertiga, jangan ditanya siapa yang berhasil. Tentu saja tidak ada. Setelah itu, kita juga sempat mampir di kawah Sileri. Malamnya, …satu kalimat saja : Indomie goreng plus telur sebelum tidur.
View dari Bukit Sikedeng
Hari IV
Untuk kedua kalinya, kami menaiki bukit Sikunir. Perjalanan kali ini menempuh waktu yang lebih lama daripada yang pertama karena sangat banyak orang yang juga naik kesana. Kami tiba di puncak pukul setengah 6 dan kali ini kami berdiri dari viewpoint yang berbeda. Namun, lagi – lagi kami tidak berjodoh dengan si Golden Sunrise. Yah apa mau dikata, kalo urusan jodoh, cuma Tuhan yang tau Kira – kira pukul 7 pagi, hari sudah sangat terang dan cerah. Kami bisa menyaksikan pemandangan yang begitu indah dari atas sana. Kami turun dari Puncak Sikunir saat mulai sepi. Dengan sok nya, kami turun, turun, dan turun. Hingga akhirnya kami menyadari, …kok jalannya beda ya? Jalan yang kali ini kami lalui begitu terjal dan sebagian besar jalurnya, terletak persis ditepi jurang.
Seperti hari – hari sebelumnya, siangnya kami memutuskan untuk jalan – jalan di Dieng. Kali ini, kita dapet tebengan dari seorang bapak yang kebetulan beserta keluarganya juga mau ke Dieng, jadi mereka menawarkan kami untuk ikut di mobil mereka. Kami makan siang di tempat mie Ongklok kemarin, namun memilih menu yang berbeda. Kami menikmati nasi putih dengan berbagai ragam lauk ditemani sate kambing dan sapi. Setelah selesai makan siang, kami LAGI – LAGI naik delman (ga ada pilihan lain). Tapi tentunya, kami memilih yang kudanya besar dan kekar. (Kudanya loh yang kekar, bukan kusirnya). Di Dieng, ada satu tenda yang menarik perhatian kami. Tenda ini berbahan terpal berwarna biru dan terletak di depan rumah, persis di pinggir jalan. Dari beberapa narasumber, di dalam sana ada seorang petapa. Ia sudah berada di dalam sana selama kurang lebih 20 tahun. Ada yang bilang, dia tidak pernah buang air besar, ada yang bilang dia bisa meramal, ada yang bilang dia wangi walaupun ga mandi berpuluh – puluh tahun. Untuk membunuh rasa penasaran kami, kami pun memberanikan diri untuk melihat secara langsung sosok si petapa ini. Seperti saran dari seorang penjaga warung didekat sana, kami membawakan si petapa ini beberapa kotak rokok. Merokok dapat menyebabkan kanker….ups, ini bukan papan iklan ya. “Permisi”. Kayaknya kita ngomong itu doang deh sebelum masuk ke dalam tenda. Kita menengok kedalam. Ternyata, sosoknya tidak seperti yang ada dikepala saya (saya bayanginnya Wiro Sableng pake baju putih kinclong bersinar). Memang rambutnya agak gondrong juga, tapi yang ini tatapan matanya agak kosong gitu. Padahal dalam perjalanan menuju kesini, saya, Amank, dan Haidy sudah berpikir – pikir apa yang bakal kita tanyain ke si Mbah. Tapi, melihat kondisi sang petapa seperti itu, kita urungkan niat interview tadi. Lalu, didalam tenda itu pun tidak sebersih yang saya bayangkan. Banyak tumpukan botol air mineral dan beberapa piring. Cukup kumuh untuk bisa disebut tempat tinggal. Lucu juga ya dipikir – pikir. Bertapa kok tepat dipinggir jalan gitu. Kenapa ga nyari tempat yang tenang ya? Nanti kalau tendanya kelindes mobil gimana hayo?
Dihari terakhir ini, kami bertiga pergi nonton bioskop. Jangan langsung bayangin XXI atau Blitz Megaplex yaa. Kita nontonnya di sebuah theater, namanya Dieng Plateau Theater yang hanya menayangkan 1 buah film, yakni Film dokumenter mengenai Dieng; sejarah terbentuknya Dieng, peristiwa penting yang pernah terjadi, tempat – tempat wisata, dan kebudayaan masyarakatnya. Ya gitu deh, berasa kayak lagi kelas Sejarah dan Geografi jaman sekolah. Hihihi.
Sekilas percakapan dengan supir delman saat kita udah selesai berjalan – jalan dan akan melakukan pembayaran: “Jadi berapa, mas?”
“seikhlasnya aja”
(Dalem hati : Tuhkan orang disini pada baik – baik!)
Pas kita kasih uang 80Ribu? Rupiah, eh si Mas kusir malah nawar jadi 150Ribu. Setelah negosiasi, akhirnya kita sepakat di harga 100Ribu. Berarti bukan “seikhlasnya” kalau begini.
Kemudian, kami balik ke Desa Sembungan dengan menyewa ojek, yang tarifnya Rp 20.000 per orang. Malem harinya, kita minta diajak oleh anak Pak Eko untuk menemui salah satu anak berambut Gimbal / Gembel (Bukannya saya menghina mereka kaya gembel, penduduk sana memang sebutnya Gembel). Anak yang kita temuin ini umurnya masih 3 tahun, namanya ….. . Dia pemalu banget, padahal udah disogok pake permen, tetep aja gamau lepas dari pangkuan sang ayah. Nah, konon ceritanya, anak berambut gimbal itu artinya titipan Dewa dan hingga saat ini masih banyak kita temui di desa ini. Awal mulanya, sang anak biasanya mengalami demam tinggi. Rambut gimbal baru boleh dipotong setelah ada permintaan dari sang anak sendiri. Katanya, kalau mama papa nya yang memaksa potong, percuma, rambut gimbalnya akan tumbuh lagi. Kalau sang anak sudah mengungkapkan keinginan untuk dipotong rambutnya, maka akan diselenggarakan upacara ruwatan cukur gimbal. Kemudian, orang tua harus mengabulkan 1 permintaan dari sang anak. Ada yang minta ayam, sepeda, dan sebagainya. Kebayang ga kalo ada yang minta pulau? Oh iya, malam itu kita tidak tidur di Homestay Pak Eko, melainkan di rumah saudaranya. Berhubung homestay Rodja kedatangan banyak tamu, jadi kami dipindah deh. Ga beda sama homestay Rodja, disini juga banyak cemilannya. Hehehe. Dan tidak hanya Bu Eko yang jago masak, saudara Pak Eko ini juga masakannya enak – enak. “Mbak masakannya enak, kok ga buka warung makan? Saya liat disini cuma ada 1 warung baso.” Tanya saya.
“Ya kita di desa, kalau memang ada ya kita bagi saja. Kebetulan juga ini lagi lebaran jadi ada daging, biasanya hanya sayur.” Jawab beliau kurang lebih seperti itu (ini sedikit saya adaptasi kata –katanya).
Wah memang kehidupan di desa masih kental rasa kekeluargaannya ya…
Hari V
Setelah sarapan (rejeki, pagi – pagi udah dimasakin nasi dan ikan) dan berberes – beres, kami pamit pada sang pemilik rumah. Selesai sudah hari – hari kami di desa tertinggi dipulau Jawa ini. Walaupun kami belum bertemu dengan Sunrise yang kami impikan, kami senang bisa pulang dengan berbekal banyak kenangan manis dari sana. Hari itu, 31 Juli 2014, kami kembali menuju Semarang untuk menginap 1 malam dan melanjutkan perjalanan menuju Banjarmasin esok harinya.
Roti Kismis, Gula aren… Salam manis dari Theresia yang keren…
//
Haii Teres…
Boleh minta nomor contact homestay Rodja?
Waktu kesana kena brp per malamnya? include makan?
Thankyou
Halo itaaaa… Kalo ga salah inget, 350ribuan per malam deh. Berikut nomer hp nya Pak Eko, sang pemilik homestay 082220604022 🙂
Hi There,
Mau tanya.. waktu ke dieng, dari semarang ke diengnya naik transportasi apa ya? Boleh minta infonya? Terima kasih banyak 🙂