once upon a time in : Nepal (part 2)

Setelah puas mengunjungi kuil-kuil di Kathmandu, kami melanjutkan perjalanan kami ke beberapa kota lainnya di Nepal. Ternyata Nepal tidak hanya menawarkan kultur dan sejarah yang seakan tak pernah habis untuk diamati. Di sini kita juga bisa melihat pemandangannya yang begitu memukau dan mengesankan. Berikut lanjutan catatan perjalanan kami .

Kami bangun sekitar pukul 8 lewat pagi hari. Setelah mandi dan menyelesaikan sarapan, kami pun checked out dari hotel. Tujuan pada hari itu adalah ke kota Bhaktapur dan kami berencana untuk menginap di sana untuk satu malam. Kami menggunakan taksi untuk mengantar kami ke kota tersebut. Taksi di sana rata-rata ukurannya mini banget. Bisa dibilang seukuran dengan mobilnya Mr. Bean. Tas-tas kami pun harus dijejal paksa supaya muat di bagasi belakang. Perjalanan kami tempuh selama kurang lebih 1 jam.

Taksi menghentikan kami di depan pintu masuk kota Bhaktapur. Selanjutnya kami harus membeli karcis untuk memasuki kota ini. Dari sini kita akan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki karena ada peraturan bahwa mobil dilarang memasuki kawasan tersebut.

bhaktapurTak heran jika mereka memanggil kota ini ” The Living Heritage”. Di sepanjang perjalanan kami melewati banyak candi-candi dan bangunan yang berumur ratusan tahun dan bahkan berabad-abad. Monumen-monumen dengan ukirannya yang indah menunjukan kehebatan para senimannya pada masa itu. Bangunan-bangunan di kota ini hampir semuanya menggunakan batu bata merah khas nepal dan mulai dibangun pada abad ke 12. Sangat sedikit sekali perubahan yang telah dilakukan kepada tempat ini. Berjalan diantara bangunan-bangunan itu memberikan kesan tersendiri buat kami dan memberikan kami pengalaman untuk melihat bagaimana kehidupan di Bhaktapur pada masa lampau.

potteri squareKami menginap di Cosy Hotel yang terletak di belakang pottery square. Para pengrajin tembikar berkumpul di pottery square ini untuk mengolah dan menjual karya seni mereka. Seperti biasa ketika kami sampai di sebuah kota, kami membiarkan diri kami tersesat di kota tersebut. Kami menelusuri gang-gang kecil tempat permukiman warga sekitar. Pada umumnya, ketika sebuah tempat menjadi kawasan pariwisata yang sering didatangi banyak turis, keramah tamahan dan kehangatan warganya pun biasanya cepat memudar digantikan oleh keinginan untuk bagaimana bisa mendapatkan uang dari kesempatan tersebut. Namun tidak di Bhaktapur. Di sini kami diundang masuk oleh seorang warga untuk melihat gudang penyimpanan berasnya dan melihat bagaimana dia berkerja. Kami juga sempat nongkrong bareng dengan para nenek-nenek yang kebetulan lagi ngumpul untuk bersantai. Hampir di setiap kaki para nenek tersebut mempunyai tattoo yang saya duga adalah simbol dari suku mereka. Namun sayang, akibat keterbatasan bahasa, kami tidak bisa bertanya banyak tentang hal tersebut. Beberapa wanita dengan asik memintal benang dengan menggunakan alat traditional di depan rumah mereka dan mereka memperbolehkan kami untuk memoto mereka dengan senang hati.  Orang-orang di sini rata-rata friendly banget.

Bhaktapur Durbar Square

salah satu pemandangan sudut kota Bhaktapur

Seperti di Kathmandu, di sini kami juga menemukan Durbar Square yang tak kalah menariknya. Terdapat sebuah istana yang terkenal dengan sebutan 55 Window Palace.

Namun tempat ini sudah beralih fungsi menjadi museum.

Kami menyantap makan siang kami di sebuah bangunan tua yang unik. Kami naik ke lantai dua rumah makan tersebut yang menghadap langsung ke dua kuil tua yang bernama Bhairavnath Temple dan Nyatapola Temple.

Nyatapola Temple adalah sebuah kuil dengan bentuk pagoda dan merupakan salah satu pagoda tertinggi yang ada di Nepal. Terdapat 5 lantai di bangunan tersebut dan di setiap lantainya terdapat patung penjaga. Menurut catatan, kuil tinggi yang masih bediri gagah ini hanya membutuhan waktu satu tahun untuk membikinnya. Sesuatu yang sangat mengejutkan meingat ratusan tahun yang lalu peralatan tidaklah secanggih sekarang ini.

Pada malam harinya, kami duduk-duduk santai di depan sebuah kuil dan mendengarkan para musisi memainkan musik traditional nepal. Setelah itu kami kembali ke hotel untuk makan malam dan beristirahat, menyiapkan diri untuk hari esok.

Nagarkot

Setelah menyantap sarapan kami di lantai paling atas hotel, kami pun melanjutkan perjalanan kami menuju Nagarkot. Taksi kecil kami melewati jalan yang menanjak untuk bisa sampai tempat penginapan. Memang ada beberapa tempat penginapan yang tersedia di Nagarkot namun kami memilih yang paling tinggi supaya bisa melihat pemandangan dengan lebih jelas. Nagarkot sendiri terkenal dengan pemandangnya yang indah. Dari sini kita bisa melihat deretan pegunungan Himalaya dan Everest. Kami menginap di Country Villa. Kamarnya bersih dan sangat nyaman. Kamar kami mempunyai sebuah jendela besar dan balcony yang menghadap langsung ke deretan pegunungan dan perbukitan. Tidak banyak aktivitas yang kami lakukan di sini selain beristirahat dan menikmati pemandangan. Seiring malam menjemput, suhu bertambah dingin. Kami banyak menghabiskan waktu di cafe hotel yang juga mempunyai jendela besar sambil menikmati seteko chai panas. Kami menyantap makan malam di hotel. Restaurant hotel pada saat itu dipenuhi oleh turis-turis dari China. Duhh.. mereka tuh kalo ngomong nyaringnya minta ampun haha.

Nagarkot

Pemandangan dari balkon tempat kami menginap di Nagarkot

Keesokannya, kami bangun pagi-pagi sekali untuk menikmati pemandangan sunrise Nagarkot yang terkenal. Namun sayang cuaca agak sedikit kurang mendukung sehingga kami tidak bisa melihat Gunung Everest yang sudah kami nanti-nantikan. Namun bahkan dalam cuaca seperti ini pun pemandangan yang disuguhkan sangatlah indah dan mempesona. Dari ketinggian sekitar 2000 meter, kami menatap awan-awan terbentang luas di bawah kami. Sangat berbeda dengan hari-hari kita pada umumnya di mana biasanya kita melihat awan di atas kita. Awan-awan itu nampak kekuningan memantulkan cahaya dari matahari yang mulai naik. Jika memang ada sebuah negeri di awan, inilah tempatnya. Lama-kelamaan awan pun mulai menghilang digantikan oleh kabut tipis yang menyelimuti lembah dan terlihatlah kembali rumah-rumah penduduk di bawah sana.

Pokhara

Puas menikmati pemandangan pagi yang disuguhkan di Nagarkot, kami pun segera berkemas dan makan pagi. Mobil sewaan kami sudah menunggu di depan hotel untuk membawa kami ke Pokhara. Sebuah perjalanan panjang yang akan kami tempuh selama kurang lebih 8 jam.

River Side Springs Resort

dipertengahan jalan kita bisa mampir di River Side Springs Resort untuk makan siang

nepali set

menu favorit kami selama disana “Nepali Set” (Nasi, Kare Ayam, Sup Kacang Ijo, Acar, Krupuk, Yogurt)

Jika di Kathmandu dan di Bhaktapur kami puas melihat kuil-kuil tua yang eksotis, di Pokhara kami disuguhkan dengan pemandangan gunung-gunung tinggi bersalju. Bagaimana tidak, tiga dari sepuluh gunung tertinggi yang ada di dunia terletak berdekatan dengan kota ini. Nama tempat penginapan kami adalah Lotus Inn. Kamarnya cukup sederhana namun bersih dan dilengkapi oleh kamar mandi di dalam. Ganesh si pemilik penginapan pun sangat ramah dan cukup membantu selama kami menginap di sana. Setelah menaruh tas di kamar dan beristirahat sejenak, kami pun naik ke lantai paling atas hotel untuk menikmati pemandangan gunung bersalju. Seperti di Pokhara, cuaca masih sedikit berkabut pada saat itu. Kami berkenalan dengan dua pria yang berasal dari Kathmandu yang menginap di tempat yang sama dengan kami. Mereka berkerja sebagai jurnalis namun sedang berlibur di Pokhara. Mereka sangat friendly dan kami pun menghabiskan sore itu untuk ngobrol-ngobrol. Ketika kami memberitahukan kepada mereka bahwa kami akan kembali ke Kathmandu besok lusa, mereka menunjukan muka prihatin. ” Do you already have your plane tickets ? ” dia bertanya. Kami pun menjawab bahwa kami berencana untuk membelinya besok hari. Ternyata menurut informasinya, besok di Pokhara akan terjadi demo di airport dan airport pun akan ditutup total sehingga penerbangan pada lusa harinya hampir bisa dipastikan penuh. Kami lantas kaget dan memikirkan jalur alternatif untuk bisa kembali ke Kathmandu. Kalo lewat jalan darat sih udah males banget. 8 jam lebihh gitu loh. Pantat rasanya udah jadi satu sama kursi mobil yang busanya keras gitu. Kalo naik bis udah bisa dibilang bakalan makan waktu lebih banyak lagi karena sering stop. Kami mencoba untuk menghubungi travel tempat kami menyewa mobil untuk menanyakan dan memesan langsung ticket jika memang masih ada yang kosong. Ternyata setelah setengah jam lebih pihak travel pun menyatakan menyerah dan menyarankan kami untuk lewat jalan darat saja.

himalaya in pokhara

pemandangan himalaya yang cantik ketika matahari terbenam

Namun, kami sedang beruntung. Salah satu jurnalis itu berhasil membantu kami mendapatkan tiket pesawat untuk pulang ke Kathmandu.

Malam itu kami makan malam di sebuah rumah makan kecil di dekat danau yang juga berdekatan dengan penginapan kami. Setelah itu kami kembali ke penginapan untuk beristirahat.

tibetan flagSetelah sarapan, kami pun melanjutkan perjalanan kami ke Tashi Palkhiel. Salah satu dari empat tempat pengungsian warga Tibet di Pokhara. Sejak negara mereka dijajah oleh China, banyak warga Tibet mengungsi ke negara tetangganya. Hidup tidaklah mudah bagi mereka. Banyak dari warga di camp ini mencari uang dengan menjual pernak-pernik dan kerajinan tangan khas Tibet ( jadi kalo ada yang mau belanja buat oleh-oleh disarankan di sini aja yah ). Tashi Palkhiel sendiri dibangun pada tahun 1960. Kami masuk ke dalam kuilnya yang besar yang pada saat itu sedang dilakukan sebuah ritual. Banyak bhiksu muda dan tua berkumpul mebacakan doa dengan khusuk yang sesekali diiringi oleh bunyi terompet yang berukuran panjang sekali. Doa terdengar misterius dan unik bagi saya yang bukan beragama Budha. Namun, saya merasa nyaman dan tenang berada di dalam sana. Kami tidak memoto sama sekali untuk menghormati upacara yang sedang berlangsung. Sebelum pulang, kami sempat ngobrol-ngobrol dengan seorang Bhiksu penjaga toko cendera mata. Vero membeli sebuah terompet yang bentuknya unik dan dihiasi oleh ukiran-ukiran dari kuningan yang eksotis. Meniup terompet ini ternyata gak bisa asal-asalan. Amank dan saya mencoba beberapa kali namun si terompet enggan menggeluarkan suaranya. Bhiksu di sana rata-rata sangat bersahabat dan sangat terbuka dengan para pengunjung. Amank dan saya pun membeli beberapa praying wheels mini dan gelang yang dirajut dengan tangan.

camp pengungsian tibet

Tashi Palkhiel salah satu tempat pengungsian Warga Tibet di Nepal

Satu hal yang juga tidak boleh dilewatkan di Pokhara adalah mengunjungi Phewa Lake.

Danau ini adalah danau terbesar kedua di Nepal. Di danau ini terdapat banyak perahu-perahu kecil untuk disewakan. Kami menyewa sebuah perahu untuk membawa kami dari satu sisi danau ke sisi lainnya. Di tengah-tengah perjalanan kami mampir ke sebuah pulau kecil. Di pulau kecil ini terdapat sebuah kuil Hindu tua yang bernama Barahi Temple. Sebuah kuil yang dibangun untuk Dewi Barahi, salah satu dari dewi-dewi yang ada di agama Hindu. Kami juga sempet duduk-duduk bareng dengan para pemuda lokal yang sedang memancing ikan-ikan kecil di pinggir danau. Umpannya sih biasa saja yaitu berupa cacing tanah. Namun uniknya, setiap kali mereka meletakan cacing itu dikail, mereka meludahi umpan itu sebelum dicemplungin. haha Entah untuk apa manfaatnya. phewa lake

Phewa Lake

Sore itu cuaca lumayan cerah. Ganesh si pemilik tempat penginapan mendatangi kami di kamar dan menyuruh kami supaya cepat naik ke atas untuk menikmati pemandangan sunset. Gunung-gunung salju terlihat jelas dan seperti biasa mempesona. Burung-burung berterbangan untuk kembali ke sarangnya dan matahari pun lambat laun mulai turun untuk menerangi sisi lain belahan bumi.

Malam harinya kami berjalan kaki menelusuri kota Pokhara. Di sepanjang jalan terdapat banyak sekali restaurant-restaurant yang menyediakan makanan lokal maupun western food. Kami mampir ke sebuah toko buku untuk membeli beberapa postcards yang akan kami kirim ke beberapa teman kami di Indonesia.

Kembali ke Kathmandu

Pagi-pagi sekali kami sudah bersiap-siap pergi ke desa Sarangkot untuk melihat pemandangan sunrise. Desa ini terletak di sisi gunung dengan ketinggian 1600m. Ketika kami sampai di sana, pemandangan masih nampak sedikit gelap kebiru-biruan. Tak lama kami menunggu, matahari pun mulai naik. Nampak di hadapan kami pegunungan Himalaya yang anggun dan megah. Salju di atas gunung sana tampak kuning keemasan. Diantara beberapa gunung yang kami lihat, Gunung Machhapuchhre atau lebih dikenal dengan sebutan The Fish Tail Mountain adalah gunung favourite kami. Bentuknya yang unik menyerupai buntut ikan dan dipenuhi oleh salju. Menurut catatan, tidak ada pendaki yang pernah naik sampai ke puncak gunung ini. Gunung ini dianggap suci oleh penduduk setempat sehingga pendakian pun dilarang. Pagi itu kami banyak menghabiskan waktu di Sarangkot hanya untuk menikmati pemandangannya yang indah. Pemandangan yang menenangkan jiwa kalo saya bilang. ciee… hehe.

sarangkot

lokasi terbaik untuk melihat sunrise di Sarangkot cuman bayar 10 NPR bonus Teh Jahe 😀

bagasi di kathmanduPesawat yang akan membawa kami pulang ke Kathmandu berangkat pada siang hari. Setelah mengucapkan perpisahan kepada Ganesh, kami pun berangkat menuju ke airport dengan menggunakan taksi. Terlihat di depan airport masih berlangsung demo. Terdengar nyanyian-nyanyian para demonstran dengan alat pengeras suaranya. Pesawat yang kami tumpangi adalah pesawat kecil dengan dua baling-baling disayapnya.

Kami sampai di Kathmandu pada sore hari. Area kedatangan untuk penerbangan lokal tampak berbeda dengan area kedatangan untuk penerbangan international. Sesuatu yang menurut saya unik, tempat pengambilan bagasinya pun berada di luar gedung. Tidak ada conveyer system yang membawa bagasi kita. Jadi semua barang-barang diletakan begitu saja dan kita harus teriak-teriak kepada petugas sembari memberikan bukti bagasi untuk mendapatkan barang-barang bawaan kita. Nah, bayangin aja kalo di sana ada puluhan orang yang sedang teriak-teriak pada saat yang bersamaan. haha. Persis deh kayak pasar pokoknya.

Kami menginap di tempat yang sama pada waktu kami datang pada pertama kalinya di Kathmandu. Kami kembali berjalan-jalan di sekitar Thammel yang pada malam itu begitu sesak dipenuhi oleh warga lokal dan turis-turis asing. Kami mampir ke sebuah toko kecil untuk membeli beberapa oleh-oleh kecil berupa gantungan kunci dan magnet kulkas. Si penjaga toko adalah seorang pria muda yang sangat friendly dan suka berbicara. Dia menanyakan berbagai macam pertanyaan tentang Indonesia. Kami pun betah berada di tokonya dan akhirnya pulang ketika dia mau menutup toko. Malam itu adalah malam terakhir kami di Nepal. Kami berjalan-jalan di kawasan Thammel sampai kawasan tersebut terlihat sepi. Hanya ada beberapa bar yang masih buka dan kami pun kembali ke hotel untuk beristirahat.

Keesokan harinya, kami menyempatkan untuk berbelanja di kawasan Thammel. Kaos-kaos bermerk seperti Northface, Colombia dan sebagainya dijual dengan harga yang cukup terjangkau. Tapi tetep harus pakai nawar juga. Untuk masalah kaosnya asli atau gak saya kurang begitu ngerti deh. Yang penting kainnya enak buat dipake. hehe.

Pesawat kami berangkat sekitar pukul setengah dua siang hari. Pesawat lepas landas dan pandangan saya tertuju pada daratan di bawah. Mungkin suatu hari nanti kami akan mengunjungi negara ini kembali.

Bangkok

kick boxingKami memilih Lubd sebagai tempat penginapan kami di Bangkok. Tempatnya asik banget. Designnya menarik dan para staff nya pun masih muda dan bersahabat. Ada deretan komputer juga di lobby yang bisa digunakan secara gratis oleh para tamu. Saya sangat menyarankan untuk mencoba hostel ini jika anda sedang pergi liburan di Bangkok. Kamar kami mempunyai 2 ranjang susun yang muat untuk berempat.

Satu hal yang juga ingin kami lakukan di Bangkok adalah menonton Muay Thai secara langsung. Dengan menggunakan tuk-tuk kami pun berangkat menuju ke Lumpinee Stadium. Tiket untuk turis asing sangatlah mahal. Kami membeli tiket tersebut seharga 2,000 Baht per orang. Lumpinee Stadium adalah salah satu stadium terkenal di Bangkok. Jadi sangatlah mudah untuk bisa sampai ke tempat ini karena para supir tuktuk atau taksi pasti mengetahuinya. Tapi perlu dicatat juga, bahwa pertandingan tidak selalu ada setiap harinya. Jadwal pertandingan hanya ada pada hari Selasa, Jumat dan Sabtu. Suara riuh rendah para penonton memenuhi seisi stadium. Cukup menarik melihat beberapa penjudi menggunakan kode-kode tertentu dengan jari mereka untuk memasang taruhannya. Malam itu pertandingan berlangsung beberapa kali. Rasanya seru juga melihat pertandingan ini secara langsung. Beberapa petinju ada yang K.O dan malah ada yang harus ditandu keluar dari ring.

Setelah puas menonton pertandingan-pertandingan Muay Thai yang berlangsung selama beberapa jam itu, kami pun kembali pulang ke hostel. Tuk-tuk di Bangkok hampir rata-rata gak bisa liat jalanan kosong. Pasti langsung tancep gas. Ngebutnya kenceng abis deh pokoknya. haha.

Malam itu kami tidur dengan nyenyak. Tidak terasa bahwa perjalanan ini akan berakhir esok. Perasaan baru kemaren ngepak-ngepak barang dan memulai perjalanan ini.

Home Sweet Home

Setelah check out dari hostel kami pun berangkat menuju ke airport. Pesawat kami akan berangkat pada sekitar pukul setengah 12 siang. Merasa masih ada waktu yang tersisa, kami pun menyantap makan pagi kami di airport. Kami makan dengan santainya hingga kami juga gak sadar bahwa waktu keberangkatan sudah hampir tiba. Begitu terdengar pengumuman bahwa para penumpang disuruh masuk ke dalam pesawat, kami pun akhirnya berlari-lari menuju ke gate kami. Parahnya lagi, gate kami terletak di paling ujung yang jaraknya jauh banget dari tempat kami makan. Alhasil, begitu masuk dan duduk di kursi pesawat nafas kita udah ngos-ngosan. Amank dan saya duduk bersebelahan. Sedangkan Vero duduk di kursi belakang. Masih dalam proses mengatur nafas yang masih gak beraturan, tiba-tiba terdengan suara nyaring Vero, “Ehhh terompet gw manaa !!!!”

Astaga, ternyata terompet Vero ketinggalan ketika dia sedang membelikan titipan temannya waktu di dalam airport tadi. Vero yang tadinya udah siap-siap mau loncat dari pesawat untuk ngambil terompet itu dilarang keluar karena pesawat udah mau berangkat. Tapi beruntung, petugas bandara begitu sigap dan akhirnya menemukan terompet itu. Terompetnya sekarang sudah berada di tempat yang aman dan dititipkan dengan teman Vero yang tinggal di Bangkok. =)

Kami sampai di Jakarta dan akhirnya berpisah. Vero melanjutkan perjalannya pulang ke Bandung dengan menggunakan bis sedangkan Amank dan saya harus menunggu penerbangan kami berikutnya untuk membawa kami pulang ke Banjarmasin. Kami mengucap syukur kepada Tuhan atas perlindungannya selama dalam petualangan hingga dapat kembali pulang ke Indonesia dengan selamat.

Nepal merupakan sebuah negara yang begitu menarik untuk dikunjungi. Sebuah negara yang kaya akan kultur dan budaya. Pemandangan Gunung Himalayanya yang begitu mempesona dan orang-orangnya yang ramah. Sebuah pengalaman yang tak akan terlupakan dan kami pun merasa beruntung untuk dapat berpetualang di negeri ini. Inilah akhir dari kisah perjalanan kami. Sampai bertemu di perjalanan kami berikutnya yah dan semoga tulisan sederhana ini bisa menjadi inspirasi buat anda.

Salam manis,

Haidy / Neverstoptravelling

//