Once upon a time in India (day 2)

Berhubung ini blog hari ke dua kami, maka dua kali lipat pula saya akan share. Mari kita mulai 😀

2. Varanasi = Sungai Gangga

Di pagi hari kedua, saya terbangun ketika waktu masih menunjukkan pukul 6 kurang. Tidak seperti yang saya duga, saya tertidur sangat pulas sekali. Aktivitas pada pagi hari itu masih belum terlihat. Para penumpang masih banyak yang tidur atau mungkin lebih memilih untuk meringkuk di dalam selimut mereka yang hangat. Saya menggosok gigi dan menikmati pagi hari di pintu gerbong kereta. Pemandangan sungguh sangat menakjubkan. Banyak bunga-bunga berwarna kuning tumbuh hampir merata di padang yang luas. Beberapa pohon tampak jauh dan samar terbalut oleh kabut pagi. Udara yang dingin tidak bisa membuat saya beranjak pergi kembali ke cabin. Saya tetap berdiri dan meresapi pagi yang sungguh luar biasa.

Sesuatu yang tak kalah menarik perhatian saya adalah banyak sekali orang-orang yang duduk berjongkok di padang padang untuk membuang hajat. Tetapi saya tidak melihat mereka membawa ember yang berisikan air untuk berbasuh. Ahh.. saya pikir mungkin saja mereka menggunakan tissue ataupun bahan sejenis. Tetapi saya juga tidak melihat mereka membawa cangkul untuk menggali lubang terlebih dahulu sebelum proses pembuangan dilakukan. Erm.. mungkin mereka sudah menggalinya di malam sebelumnya. Ok stop !!! Sebaiknya saya berhenti berpikir tanya jawab yang gak penting ini!! Hehehehe…

Matahari mulai merajut benang emasnya. Para penumpang mulai bangun dan menggosok gigi di wastafel kereta. Di dalam gerbong kereta kami terdapat dua kamar kecil dan satu buah wastafel. Amank sudah bangun dari tidurnya dan segera menyusul saya menikmati pagi di pintu gerbong.

Jam 10 kurang akhirnya kami tiba di Varanasi. Menurut legenda kota ini ditemukan oleh Dewa Shiva pada lima ribu tahun yang lalu. Namun kebanyakan orang meyakini bahwa Varanasi berumur kurang lebih tiga ribu tahun dan merupakan salah satu dari kota tertua yang ada di dunia. Kota ini dianggap suci oleh agama Buddha dan menjadi salah satu dari tujuh tempat yang paling suci di dalam agama Hindu. Begitu menuruni kereta, kami langsung disambut oleh beberapa supir taksi dan supir autorickshaw yang berusaha untuk mendapatkan calon penumpang. Autorickshaw disini sama seperti bajaj di Indonesia. Hanya mungkin ukurannya agak sedikit lebih besar dan dilengkapi oleh argo meter. Kami mengacuhkan para supir tersebut dan langsung berjalan menuju pintu keluar dan mencari tourism office di mana kami sudah berjanjian dengan driver hotel yang akan menjemput kami. Tak berapa lama datang seseorang dengan kertas di tangan yang bertuliskan nama kami. Di dalam mobil kami bertemu dengan pasangan yang juga akan menginap di tempat yang sama. Kami berbincang bincang sejenak. Sang pria berasal dari Brazil sedangkan pasangannya berasal dari Perancis. Mereka sedang melakukan perjalanan selama 2 bulan ke beberapa negara di Asia seperti Thailand, Malaysia dan juga Indonesia.


lobi Ganpati Guest House

kamar Ganpati Guest House

Guest house tempat kami menginap bernama Ganpati Guest house. Sebuah tempat penginapan sederhana yang bersih berdiri tepat di samping sungai gangga. Untuk menuju ke tempat penginapan, kami masih harus berjalan kaki melewati gang gang kecil yang didalamnya terdapat pasar. Berjalan kaki di gang gang kecil tersebut tidaklah mudah. Selain dengan para pengunjung pasar itu sendiri, kami harus rela berbagi jalan dengan beberapa sapi dan para pesepeda yang membawa tong tong besar berisi susu. Diperlukan kelincahan dan kesabaran untuk berjalan di gang gang seperti ini. Sapi dan gang kecil bukanlah sebuah kombinasi yang bagus. Kotorannya bertebaran di mana mana. Oleh sebagian penduduk setempat, kotoran tersebut diambil dan dikeringkan untuk menjadi bahan bakar pengganti arang.

Setelah melakukan check in kami segera naik ke lantai paling atas guest house yang terdapat roof top restaurant. Makanan yang tersedia cukup bervariasi dan tidak terlalu mahal. Dari sini kita dapat melihat pemandangan istimewa sungai Gangga yang terbentang jauh dan jikalau kita menengok ke bawah, kita bisa melihat aktivitas yang terjadi di bantaran sungai. Sesudah menyantap makan siang kami yang berupa roti Naan dan beristirahat sejenak di kamar, kami memutuskan untuk menjelajahi kota Varanasi. Tujuan pertama kami adalah Durga Temple.


Gangga River

Dikarenakan jaraknya yang cukup jauh dari guest house, kami berniat menggunakan autorickshaw untuk membawa kami ke sana. Durga Temple yang disebut juga sebagai Monkey Temple merupakan sebuah temple yang didedikasikan untuk Dewi Durga. Temple ini didirikan pada abad ke 18. Legenda mengatakan bahwa patung Dewi Durga yang terdapat di dalam temple tersebut bukanlah buatan manusia melainkan muncul dengan sendirinya. Kami dikenakan biaya 20 rupee per orang untuk penitipan sandal. Namun sayang sekali, kami dilarang untuk menggunakan kamera selama berada di area temple.

Selanjutnya, kami meneruskan perjalanan kami ke Assi Ghat yang berada di ujung utara sungai Gangga. Sebagian besar ghat-ghat di Varanasi adalah tempat untuk memfasilitasi orang-orang yang akan melakukan pemandian di sungai Gangga. Sedangkan beberapa diantaranya merupakan tempat untuk melakukan kremasi jenazah bagi para pemeluk agama Hindu. Kali ini kami memilih untuk menggunakan alat transportasi rickshaw. Rickshaw adalah salah satu alat transportasi yang diminati oleh banyak turis dan penduduk lokal. Bentuknya hampir mirip dengan becak yang ada di Indonesia hanya bedanya si pengayuh berada di depan penumpang. Berjalan kaki menelusuri sungai Gangga adalah sebuah pengalaman yang menarik namun juga mengesalkan. Hampir setiap saat kami selalu dihampiri oleh orang-orang yang menyuruh kami untuk mampir ke suatu toko dan membeli kain sari, para boatmen yang menawarkan untuk berkeliling ria dengan perahu mereka dan beberapa peminta minta yang pada umumnya adalah anak kecil.

Sore hari yang kami dambakan bisa kami habiskan dengan berjalan santai dengan tenang menjadi sangat terusik. Sebagian besar dari mereka menggunakan kalimat pembuka seperti menanyakan “hellow how are you sir ?, “where do you come from?”, “how long have you been in India?”, “do you like India?” dan sebagainya. Namun, di akhir pembicaraan semuanya sama. Mereka akan berusaha untuk menawarkan kami sesuatu. Hal ini membuat kami kesulitan untuk membedakan mana yang benar benar ingin bersahabat dan mana yang tidak. Dari research yang kami baca, banyak sekali nasehat yang menyatakan supaya jangan menghiraukan mereka. Jangan pernah melontarkan kata kata “how much?” jikalau anda memang tidak berniat untuk naik perahu atau membeli sesuatu karena mereka akan mengikuti anda selama beberapa menit ke depan. Kami selalu menggunakan kata kata “ nai  ” yang berarti “tidak” dan berjalan terus.

salah satu ghat di varanasi

Ghat ghat di sepanjang sungai Gangga adalah seperti surga buat kami para pecinta bangunan tua. Beberapa dibangun dengan arsitektur bergaya benteng. Terdapat lebih dari 100 ghat yang berdiri di sepanjang sungai Gangga. Setiap langkah kaki kami seakan akan membawa kami mundur ke beberapa ratus tahun silam. Sesekali kami duduk beristirahat sambil menonton beberapa anak anak yang sedang bermain layang-layang dan cricket.

cricket adalah salah satu permainan terfavorit di India

Burning Ghat adalah ghat untuk melakukan ritual pembakaran jenazah di mana ratusan jenazah dibakar pada setiap harinya. Tumpukan besar kayu dapat terlihat di atas ghat. Kayu kayu tersebut nantinya akan ditimbang sesuai dengan keperluan dan dijual kepada keluarga jenazah. Tambah besar badan jenazah yang akan di kremasi, bertambah besar juga keperluan kayu yang akan digunakan. Yang berarti juga bertambahnya biaya yang harus dikeluarkan. Jikalau pihak keluarga tidak mampu untuk membeli jumlah kayu yang diperlukan, maka jenazah akan dibakar dalam beberapa tahap. Bagian tengah dari badan akan dibakar terlebih dahulu dan setelah selesai baru mereka mendorong sisa bagian tubuhnya (bagian kepala dan kaki) untuk dibakar dengan sisa api yang masih ada.

Tidak semua orang yang meninggal dapat dikremasikan. Bagi anak kecil yang berumur di bawah lima tahun, penyandang lepra, sadhus, wanita yang sedang hamil dan korban yang meninggal akibat gigitan ular akan langsung ditenggelamkan di sungai. Kami mendapatkan kesempatan untuk melihat ritual tersebut dengan jarak yang cukup dekat. Namun perlu digaris bawahi, dicetak dengan hurup miring dan ditulis dengan hurup tebal (sangat penting) bahwa kita tidak diperkenankan untuk memotret apalagi membuat rekamam video tentang ritual tersebut. Kami memang tidak berniat untuk mendokumentasikan ritual tersebut dan kami juga malas jikalau harus merapikan kamera kami kembali ke dalam tas. Kamera kami biarkan tergantung di leher dan pundak sehingga memicu beberapa teguran keras. Sampai-sampai seseorang yang berada jauh di atas bangunan ghat pun meneriaki kami dan melakukan bahasa tubuh dengan menunjuk kami dengan kedua jarinya dan kemudian mengarahkan jarinya ke matanya yang menandakan bahwa dia sedang memperhatikan kami.

Menjelang malam, kami tiba di Dashashwamedh Ghat. Di ghat ini mereka menggelar Aarti Ceremony pada setiap harinya. Sebuah ritual yang menarik untuk disimak dan tidak akan kami lewatkan. Terdapat lima penari yang membawakan ritual ini. Lagu-lagu pujian dinyanyikan dan mereka bertepuk tangan mengikuti irama. Ritual ini dilakukan sebagai sebuah ungkapan akan rasa syukur mereka terhadap dewa. Mereka menggunakan dupa, bunga, api dan beberapa barang lainnya sebagai alat persembahan.

Menjelang malam, kami memutuskan untuk mengakhiri perjalanan hari ini dan kembali pulang ke guest house. Namun kami masih tidak tahu berapa jauhkah perjalanan yang masih harus kami tempuh. Kaki kami terasa letih akibat perjalanan panjang dari tadi siang. Kami melakukan tawar menawar yang cukup alot dengan dua anak kecil yang menawarkan untuk mengantarkan kami pulang dengan perahu. Akhirnya harga yang disepakati adalah 100 rupee. Udara malam yang dingin sangat terasa di atas perahu. kami pun duduk dengan santai berusaha untuk menahan lapar dengan mengalihkan perhatian kami ke arah sungai yang memantulkan cahaya lampu dari daratan. Ternyata perjalanan pulang dari tempat kami menyewa perahu tadi tidaklah terlalu jauh. Kami merasa sedikit kecewa karena harus mengeluarkan uang untuk sesuatu yang sebetulnya bisa dihemat.

Makan malam kali ini di roof top restaurant guest house. Dari atas kami melihat kapal kapal sudah tertambat rapi di sepanjang sungai. Aktivitas pun sudah tidak terlihat, menyisakan keheningan untuk kami nikmati sambil bersantai dengan segelas hot mint tea.

-Haidy Jauw-

Untold story (AMANK)

Pagi itu di kereta, kami meliat Bapak Geologist itu lagi sarapan. Kadang-kadang saya bercakap dengan Haidy tentang apa yang dimakan oleh bapak itu dalam bahasa indonesia “semoga dia berbaik hati memberi kami sedikit apa yang dimakannya itu” dan seperti biasa, apa yang kami doakan selalu terkabul, Bapak itu memberi kami masing-masing satu Khakhra. Khakhra adalah makanan terkenal di Gujrat (negara bagian di India), terbuat dari tepung gandung yang diberi bumbu khas india, tipis dan krispi. Kami tidak hanya di beri satu namun masing-masing dua buah Khakhra, dan diakhir sarapannya dia masih saja sempat bercanda dengan memberi kami sebuah Khakhra sambil berkata “you make it fifty-fifty” (maksudnya disuruh paroan) 😀

Dikereta itu juga pertama kali kami diperkenalkan dengan minuman khas India “Chai”. Minuman yang sangat terkenal di India, terbuat dari teh, susu, gula dan rempah (*penggunaan rempah tergantung dari daerah-daerah di India, biasanya terdiri dari jahe, cengkeh, kayu manis, merica). Chai ini lah yang menjadi minuman favorit kami selama perjalanan kami di India.

Siang itu haidy memesan onion prata dan milk coffee, sementara saya memilih chesse prata dan fruit lasi. Saya memang dari dulu penasaran dengan apa itu lasi, ternyata lasi itu adalah Yogurt yang diblender bersama air, garam, merica, es, dan rempah-rempah khas Pakistan atau India. Sementara malamnya kita lebih memilih makanan yg lebih “safety” fried rice dan hot mint tea. Beras di India rada unik, panjang-panjang beda sama dengan indonesia yang lebih pendek.

Pengemudi autorickshaw (bajaj) yang kami gunakan untuk ke Durga Temple adalah orang yang sangat tidak menyenangkan, setiap berapa menit sekali dia selalu menoleh ke belakang (ke arah kami) dan berkata “Go..come back.. No waiting charge..” padahal sudah beberapa kami bilang bahwa kami hanya ingin diantar saja ke temple itu dan hendak melanjutkan perjalanan selanjutnya  dengan berjalan kaki. *itu bajajnya lagi jalan, dan supirnya noleh-noleh kebelakang, kalo ketabrak gimana???. Setelah sampai tujuan supir bajajnya malah minta tambahan lagi, katanya buat tips (-_-“) kami  tetap membayar dengan harga yang telah disepakati, dan bergegas meninggalkan dia dengan wajah garang (*kali ini ngga pake senyum khas keliatan gigi 😀

Berbanding terbalik dengan pengemudi rickshaw (becak) yang kami temui siang itu, meskipun dia tidak bisa berbahasa inggris (*kami melakukan tawar menawar dengan meminta tolong dengan warga sekitar yang kebetulan berada disitu), bapak tua pengemudi rickshaw itu sangat ramah, nggak banyak bunyi, bahkan ketika melalui jalan yang sulit (menanjak dan berlobang), sesampainya kami malah memberinya bayaran berlebih atas service memuaskannya. Jadi pelajaran yang bisa dipetik, tidak semua “pengusaha jasa transportasi” disana menyebalkan, masih ada yang baik juga kok 😉

Untuk bisa mendapatkan gambar masyarakat India bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, banyak sekali terjadi “insiden-insiden kecil”. Contohnya anak kecil India ini, saya berhasil memotret dia  saat sang kakaknya lengah dan sedang asyik meminta uang kepada Haidy, kesal karena tidak diperdulikan Haidy si Kakak langsung memukul jidad haidy dengan layang-layang yang lagi dipegangnya “tuk !” :D.  Ketika haidy sedang memotret anak ini juga, dia ketahuan kakaknya dan serta merta anak itu kembali merongrong Haidy dengan rengekan minta uang seperti “you picture my brother, you must pay me,,, or delete..delete..delete…you’re a bad guy…!!!”)

Rincian Pengeluaran Hari kedua
Jasa Jemputan Stasiun Varanasi ke Ganpati GH = Rp. 53.750
Kamar Ganpati Guest House (type River View) = Rp. 258.000
Makan siang = Rp. 39.775
Autoricshaw = Rp. 21.500
Jasa penitipan Sepatu Durga temple = Rp. 4.300
Rickshaw = Rp. 4.300
Boat = Rp. 21.500
Dinner = Rp. 53.320
Mineral water Rp. 5.160
—————————-
Total Pengeluaran (Day 2) = Rp. 461.605